Jangan menyesali cinta yang datang menyapa hatimu
Meski kamu tak bisa memiliki objek cintanya
Satu hal yang perlu kamu syukuri
Bersyukurlah atas kebahagiaan yang kamu rasakan ketika rasa itu datang
Meski hanya sesaat

Minggu, 12 Mei 2013

Ust. Fikri


Gemuruh ombak terdengar sayup dari rumah kos tempatku tinggal. Iramanya berkesinambungan membentuk sebuah harmoni alam yang indah bersama desisan angin malam. Suasana alam memang sedang baik malam ini, sesuai sekali dengan suasana hatiku. Ku hela napas sembari menekan tombol remote dan seketika tampaklah tayangan sebuah sinetron di layar televisi. Mataku memang tertuju pada layar televisi itu, namun pikiranku masih saja mengelana pada kejadian siang tadi saat di Masjid Al-Muhaimin. Selain itu, rekaman percakapan antara diriku dengan Mbak Mida saat di kampus pun kembali terngiang di otak dan telingaku. Siang tadi adalah kali pertama aku berkunjung ke Masjid itu. Entah mengapa, aku merasa bersemangat dan senang sekali dapat berkunjung kesana. Ya, itu semua juga berkat Mbak Mida yang mengajakku untuk menemaninya bertemu salah satu ustadz disana. Sejauh itu, perasaanku masih baik-baik saja hingga seseorang yang ingin ditemui Mbak Mida berdiri di hadapan kami. Bukannya aku tidak tahu tentang larangan antara ikhwan dan akhwat untuk saling bersalaman/kontak fisik dan kontak mata. Namun, entah mengapa saat melihat ustadz itu, mata dan kepalaku tak bisa diajak berkompromi untuk menunduk. Seumur hidup, baru pertama kali aku melihat laki-laki yang memiliki wajah bersinar seperti dia. Seorang ustadz muda yang kharismatik.
“Nia!” Mbak Mida menyikutku pelan hingga membuatku tersadar. Segera ku tundukkan kepalaku. Ah, aku merasa malu sekali.
“Maaf, ustadz. Ini Nia, adik tingkat saya di kampus.” Ujar Mbak Mida.
“Saya Fikri,” ujar laki-laki itu sembari mengatupkan telapak tangannya di depan dada. Aku pun membalasnya dengan cara seperti itu.
“Nia.”
“Begini ustadz, ini ada titipan dari Umi. Tadi, Reza masih sakit, jadi saya yang harus menggantikan Reza untuk mengantar ini,” ujar Mbak Nurul sembari menyodorkan sebuah buku pada Ustadz Fikri.
“Oh, ya? Syukron, ukhti... Memang, Reza sedang sakit apa?” tanya Ustadz Fikri. Aku tergerak untuk kembali menegakkan kepalaku dan memandang sosok di hadapanku ini.
“Demam berdarah, ustadz...”
Innalillahi... Sampaikan ucapan terima kasih saya pada Umi Ratih ya, Mida. Saya juga mendoakan supaya Reza cepat sembuh,”
Aku masih mencuri pandang ke arah Ustadz Fikri.
“Iya, ustadz. Terima kasih. Oh iya, kami pamit pulang dulu, ustadz. Soalnya, setelah ini saya masih ada kuliah,” ujar Mbak Mida
“Oh, iya. Afwan ya, Mida karena saya sudah mengganggu waktu kuliah kamu,” ujar Ustadz Fikri.
“Oh, nggak apa-apa kok, ustadz!” sahutku tiba-tiba. Mbak Mida dan Ustadz Fikri memandangku heran. Sejurus kemudian aku tersadar bahwa aku telah asal berbicara. Seharusnya yang mengatakan itu adalah Mbak Mida, bukan aku. Sontak, ku tundukkan kepalaku dalam-dalam.
“Mmm... Ya sudah, kami izin pulang, ustadz. Assalamu’alaikum,” ujar Mbak Mida sembari mengatupkan telapak tangannya di depan dada. Begitu pula dengan Ustadz Fikri. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh,”
“Nia, kamu itu kenapa sih, tadi?” Mbak Mida mulai menginterogasi sikapku yang aneh.
Sambil membuka pintu mobil sport milik Mbak Mida, ku jawab pertanyaannya dengan santai.
“Biasa, Mbak...”
“Biasa apa?”
“Ya, apalagi kalau bukan jatuh cinta,”
“Apa? Kamu lagi jatuh cinta? Jatuh cinta sama siapa?” tanya Mbak Mida, semangat sembari menghidupkan mesin mobilnya.
“Iya, mbak. Bisa dibilang jatuh cinta pada pandangan pertama,” jawabku sambil senyum-senyum sendiri.
“Maksud kamu... Kamu suka sama Ustadz Fikri?” Aku mengangguk senang. Aku dan Mbak Mida memang sudah dekat sejak pertama kali aku kuliah. Ia adalah kakak tingkat yang paling baik padaku, oleh karenanya aku sudah tidak ragu lagi bercerita mengenai apapun dengannya. Termasuk mengenai perasaan ini.
“Ya, ampun Nia...” Di depan stir mobilnya, Mbak Mida tampak geleng-geleng kepala.
“Kenapa, mbak? Aneh aku bisa suka sama ustadz?”
“Aneh banget! Kamu kan player. Selama ini pacar kamu juga gaul-gaul,” komentarnya. Aku meliriknya kesal.
“Ya ampun Mbak, kata siapa aku player? Aku kan wanita muslimah yang taat beragama,” tukasku, berlebihan. Mbak Mida tampak mencibirku. Aku hanya membalasnya dengan tertawa.
xxx
“Dia itu guru ngajinya Reza dari kecil,” jawab Mbak Mida setelah ku menanyakan hubungan keluarganya dengan Ustadz Fikri.
“Wah, udah lama juga. Pantas aja bisa dekat begitu. Terus?”
“Terus apanya?”
“Ya, dia udah punya pacar belum?”
Setelah sekian lama perjalanan mengobrol kami, akhirnya Mbak Mida mengalihkan pandangan dari laptopnya padaku.
Astaghfirullahal’adzim... Memang Ustadz Fikri tuh kayak kamu? Dia itu ikhwan, Nia. Nggak ada di dalam kamus kehidupannya istilah pacar-pacaran,”
“Hehe, iya juga...” gumamku. Sejenak, ada perasaan lega mendengar jawaban Mbak Mida tersebut. Itu artinya, Ustadz Fikri masih sendiri.
“... Tapi, dia kalau mencari calon istri pasti nggak sembarangan.” Ujar Mbak Mida. Perhatiannya kembali tertuju pada laptop di depannya.
“Salah satunya harus berhijab?” tanyaku. Mbak Mida mengangguk mantap. “Iya!”
xxx
Ah, apa yang terjadi pada diriku? Sebelumnya, aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini dengan para lelaki yang menurutku menarik. Namun, kemenarikan Ustadz Fikri sungguh berbeda. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuat aura kharismatiknya terpancar begitu kuat. Ya, mungkin saja itu semua karena ia rajin menempelkan keningnya di sajadah. Entahlah. Otak ini tak henti-hentinya memikirkannya.
Dentuman musik yang keluar dari speaker televisi tetap tak dapat mengalihkan lamunanku dari ustadz muda itu. Pikiranku membenarkan apa yang dikatakan Mbak Mida sore tadi saat di kampus. Laki-laki alim dan ahli ibadah seperti Ustadz Fikri tidak mungkin sembarangan dalam mencari calon istri. Seleranya pasti tidak jauh-jauh seperti Aisyah dalam Film ‘Ayat-ayat Cinta’. Ah, ustadz itu sungguh membuatku galau semalaman.
xxx
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan berdiri di depan cermin dengan sehelai shawl di tangan. Mulai hari ini, aku sudah berniat akan menutup auratku dengan pakaian panjang dan berhijab. Seisi lemari sudah ku obrak-abrik untuk menemukan helaian jilbab yang ku punya. Namun, ternyata tidak ada sama sekali. Yang ada hanya beberapa helai shawl yang sering ku pakai sebagai aksesori untuk menutupi leher. Dan aku tidak tahu cara memakainya sama sekali. Lebar shawl ini pun terlalu sempit sehingga tidak mungkin menutup kepalaku dengan sempurna.
‘Tok tok tok...’ terdengar pintu kamarku diketuk seseorang.
Assalamu’alaikum, Nia...” sapa seseorang. Senyumku terkembang seketika karena aku tahu siapa yang datang. Ya, siapa lagi kalau bukan Nurul. Dialah satu-satunya penghuni kos-kosan ini yang paling alim dan selalu mengucapkan salam tiap kali masuk ke suatu ruangan.
Wa’alaikumsalam...” jawabku, semangat.
“... Eh, Nurul. Udah Nia duga, pasti Nurul yang datang!” ujarku.
“Hehe, kok Nia bisa tahu? Nia punya indera keenam, ya?” canda gadis mungil berhijab itu.
“Ya iyalah Nia tahu. Nurul kan aura kesolihannya kuat banget...”  pujiku. Nurul makin mengembangkan senyumnya.
Alhamdulillah Nia, insya Allah... Oh, iya Nia. Omong-omong, Nurul kesini karena ingin meminjam modul Kewarganegaraan. Nia punya, kan?”
“Oh, tentu. Nia pasti akan pinjamkan Nurul. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Nurul bantu Nia, ya?” pintaku. Nurul tampak mengerutkan dahinya. “Bantu apa? Kalau Nurul bisa, sudah pasti sebagai sesama Muslim, Nurul akan membantu.”
“Ya ampun, Nurul... Hati kamu itu bagaikan emas, ya? Hehe... Oh, iya. Nia minta tolong Nurul untuk mengajarkan Nia pakai jilbab!” ujarku. Nurul tampak terkejut.
“Nia mau pakai jilbab? Alhamdulillah...”
“Baik, Nia. Sini, Nurul akan dengan senang hati membantu Nia untuk memakai jilbab!” ujar Nurul, semangat. Lancarlah sepertinya rencanaku ini.
xxx
Assalamu’alaikum Mbak Mida,” sapaku. Raut wajah Mbak Mida yang semula santai dan biasa saja langsung berubah kaget dan heran setelah melihatku.
Wa’alaikumsalam warrahmatullah... Nia?” Mbak Mida masih memerhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki yang semuanya tertutup. Terlihat sekali bila ia sangat pangling melihatku yang tiba-tiba datang ke kampus mengenakan pakaian tertutup seperti ini plus hijabnya.
“Iya, mbak. Ini aku. Nia!”
“Kamu kok pakai jilbab? Memang ada mata kuliah agama?”
“Ya ampun, Mbak Mida... Bukannya bersyukur melihat aku sekarang pakai jilbab, eh malah diledek.” Keluhku.
“Hah? Jadi, kamu serius pakai jilbab ini?” Mbak Mida masih belum percaya.
“Iya! Ampun, deh Mbak Mida ini... Aku kan juga hamba Allah yang bisa mendapatkan hidayah,” yakinku. Mbak Mida tampak mengangguk-anggukan kepalanya.
“Oh, ya Alhamdulillah deh kalau begitu, Nia....”
“Gitu dong, mbak dari tadi. Oh iya, mbak. Aku pergi dulu, ya. Aku sebenarnya sih hari ini nggak ada kuliah. Kesini cuma mau pamer aja ke Mbak Mida kalau aku udah pake jilbab. Hehehe,”
“Huh, dasar kamu! Memang mau pergi kemana, sih? Disini aja dulu temani mbak,”
‘Kasih tahu Mbak Mida nggak ya, kalau aku mau menemui Ustadz Fikri? Tapi, nggak dulu, deh. Malu. Biar lain kali saja aku beritahunya.’ Batinku.
“Mau ke rumah teman, mbak. Biasa, mahasiswa rajin mau nyelesain tugas dulu. Hehehe... Assalamu’alaikum,
Wa’alaikumsalam. Yaudah, deh. Hati-hati!”
xxx
Ku menuju Masjid Al-Muhaimin lagi. Namun, kali ini beda tujuan dengan kemarin. Kini, aku berniat kesana karena khusus untuk bertemu dengan Ustadz Fikri. Dan sebelumnya, aku sudah merencanakan dengan matang mengenai alasanku ingin bertemu dengannya jika ia bertanya nanti. Aku akan pelan-pelan mencari tahu sifat Ustadz Fikri dengan cara sharing mengenai pengetahuan agamaku yang masih sangat kurang. Sebenarnya, keingintahuanku terhadap ilmu agama tidak hanya sekedar alasan untuk mendekati Ustadz Fikri, namun memang benar-benar keinginan itu muncul dari dalam hati. Jujur, selama ini aku haus akan ilmu-ilmu agama. Jiwaku terasa hampa dan bosan karena setiap saat hanya hal-hal yang bersifat duniawi saja yang ku urusi.
Aku telah tiba di pelataran masjid. Ku perhatikan masjid besar ini dengan seksama. ‘Kira-kira, Ustadz Fikri ada dimana, ya? Habis, masjidnya besar sekali. Aku bingung. Mau mengajaknya bertemu secara langsung, aku belum membuat janji kemarin. Selain itu, aku juga nggak punya nomor handphonenya.’ Batinku, bingung.
Tiba-tiba aku melihat sosok yang sedang ku cari-cari itu baru keluar dari perpustakaan yang terdapat di sebelah timur masjid. ‘Nah, itu dia!’
“Ust... Eh, lupa! Aku kan sekarang wanita berhijab, jadi harus menjaga sikap yang manis dan anggun,” Gumamku. Ku berjalan cepat untuk menyusulnya.
Assalamu’alaikum, ustadz...” sapaku.
Wa’alaikumsalam warrahmatullah... Iya, ada apa?” Ustadz Fikri menyunggingkan senyum ramahnya.
“Ustadz masih ingat dengan saya? Saya Nia, temannya Mbak Mida yang kemarin menemui ustadz juga,” jawabku.
“Iya, alhamdulillah saya ingat. Kalau tidak salah, kemarin kamu...” Ustadz Fikri menggantungkan kalimatnya seakan ragu untuk mengatakan bahwa kemarin aku belum mengenakan jilbab ini.
“Iya, ustadz. Kemarin saya memang belum memakai jilbab. Tapi, alhamdulillah sepulang dari sini, saya mendapatkan hidayah untuk mulai menutup aurat, ustadz...”
Subhanallah... Syukurlah kalau begitu,” Ustadz Fikri merespon positif. Saat ku akan membuka mulut untuk mengutarakan isi hatiku yang ingin mendapatkan pencerahan darinya tentang ilmu-ilmu agama Islam, tiba-tiba ada seorang wanita menghampiri kami. Tak hanya cantik, namun sebuah gamis dan hijab yang menutupi kepala hingga dadanya itu membuat dirinya tampak anggun sekali. Aku saja sampai tak melepaskan pandanganku saking terpesonanya.
Assalamu’alaikum, akhi...” sapanya, halus pada Ustadz Fikri. Lalu wanita itu menoleh padaku dengan senyuman yang tersungging di wajah cantiknya. “Asslamu’alaikum, ukhti...” sapa wanita itu padaku. Aku menjawab salamnya sambil tersenyum pula. Ah, aura wanita ini saat berbicara makin terpancar. Cara bicaranya halus sekali. Dalam hati aku yakin, pasti banyak pria yang bermimpi untuk mendapatkannya.
“Oh iya, Syifa. Perkenalkan, ini Nia. Dia adalah teman Mida,” Ustadz Fikri memperkenalkan diriku dengan wanita itu. Senyum di wajah wanita itu masih belum luntur.
“Syifa...”
“Nia...”
“Saya kenal dengan Mida. Dia adalah teman yang menyenangkan. Dan sepertinya, kamu juga tidak kalah menyenangkan,” pujinya.
“Aamiin...” jawabku, malu.
Assalamu’alaikum!” Seorang lelaki yang penampilannya tidak jauh berbeda dengan Ustadz Fikri yaitu mengenakan baju koko dan peci, menyapa kami.
Wa’alaikumsalam. Bagaimana Bar?” tanya Ustadz Fikri pada lelaki itu.
Alhamdulillah beres, bos! Tinggal kita sebar aja besok,” jawab lelaki itu.
Ustadz Fikri dan Syifa tampak tersenyum senang. ‘Apanya yang sudah beres? Apa pula yang akan disebar besok? Aku jadi bingung,’ batinku.
“Memangnya, masjid ini mau mengadakan acara apa, ustadz?” tanyaku, penasaran.
“Bukan masjidnya yang mau mengadakan acara, tapi ini, nih...” jawab lelaki itu sembari menunjuk Ustadz Fikri.
“Oh, saya boleh tahu ustadz mau mengadakan acara apa? Apakah semacam perlombaan qiro’ atau menulis kaligrafi?” tanyaku.
“Bukan, Nia. Saya tidak mengadakan perlombaan, tapi...” Ustadz Fikri menggantungkan kalimatnya lagi, dan kali ini ia tersenyum sembari melirik Syifa.
“Acara pernikahan saya dengan Syifa,” jawabnya, senang. Senyum yang sedari tadi menghias wajahku lenyap seketika. Hatiku bergemuruh. ‘Apa aku tidak salah dengar? Ternyata, wanita anggun nan sempurna ini adalah calon istri Ustadz Fikri?!’ Dadaku terasa sesak dan mataku terasa panas. Bibirku hanya bisa bergetar menahan tangis yang bisa pecah kapan saja. Mereka memang pasangan yang serasi. Yang lelaki soleh dan rupawan, sedang yang wanita juga solehah dan anggun.  Ah, seharusnya aku senang mendengarnya karena Ustadz Fikri telah menemukan wanita yang tepat, meski bukan diriku. Namun, aku berjanji. Meski aku tak dapat bersama-sama dengan Ustadz Fikri, aku tidak akan melepas jilbab ini selama-lamanya. Biarlah hatiku remuk redam sehari dua hari, ‘toh saat ini ku rasa aku pun sudah berubah lebih baik berkat pertemuanku dengan Ustadz Fikri kemarin.
xxx