Semua masih abu-abu. Samar. Kalaupun ku paksakan,
antara warna putih yang ku analogikan sebagai ‘iya’ dan hitam sebagai ‘tidak’,
tentu menurutku warna hitam masih mendominasi, meski ada secercah harapan bahwa
warna putih masih terlihat. Jadi, lebih baik ku katakan jika semuanya masih
abu-abu. Samar dan belum bisa ditebak arahnya.
Ya Allah, Segala Puji bagi-Mu Tuhan Yang Maha Esa
dan Agung, juga Maha Segala-galanya. Pertama, terima kasih. Terima kasih telah
memberikan semuanya. Semua yang tercurah dari hati ini bersama keindahan-Mu.
Kedua, ketiga dan seterusya akan mengalir dalam doa-doaku.
Aku
sudah merasakannya sejak tiga hari yang lalu. Tapi, sepertinya tidak mungkin. Aku
masih sangat belum yakin dan belum berani menyimpulkannya. Rasa takut itu
muncul kembali. Berkelebat bersama rasa-rasa lain antara senang juga ragu.
Aku
sudah mempersiapkan diri untuk diam dan memantapkan diri untuk mengenyahkan
semuanya. Membuang semua yang selama ini mengakar dalam hati. Namun, semakin
aku meyakinkan diri, aku merasa semakin lemah. Keyakinanku untuk merubah arah
perahu layar yang selama dua tahun ini ku biarkan berlayar ke arahnya, kalah
hanya karena lagi-lagi nama itu kembali terngiang. Memekik dalam telingaku. Menyuruh
otakku untuk menulisnya kembali dalam media apapun, baik secara langsung maupun
dengan penyamaran menggunakan kode.
Mataku
terasa panas saat aku mendengarnya bicara begitu. Bicara mengomentari sikap ‘setengah
perjalananku’ untuk merubah arah layar. Meski aku tampak tak peduli, namun entah,
mataku terasa panas dan memaksa untuk mengeluarkan sebulir, dua bulir. Tidak.
Aku harus tetap mantap memegang kemudi ini dan melanjutkan ‘setengah perjalanan’ku
tadi.
Berada
dalam jarak yang tak begitu jauh justru membuatku semakin sulit melawan arah
angin yang kembali memaksaku untuk berlayar ke arahnya. Baik, baik. Aku menyerah.
Aku memang belum bisa melakukannya. Jujur, hatiku pun masih condong kesana.
Aku
merasa ada yang berbeda. Aku merasa ia mulai ‘terbuka’. Ah, atau hanya
perasaanku saja? Aku masih belum berani
menyimpulkannya. Takut, aku akan menelan pil pahit lagi.
Setiap
kata-katanya, baik verbal maupun tidak, ku simpan rapi dalam sebuah bungkusan
kecil yang kuletakkan di suatu tempat bernama hati. Itu semua pertanda, bahwa
aku masih menyimpan sesuatu yang sulit sekali ku ucapkan padanya. Namun, biarlah
waktu-Mu yang akan melakukan sebagaimana mestinya.
Aku
tidak tahu ia akan membacanya atau tidak. Aku pun tidak tahu ia akan mengerti
semua yang tertulis atau tidak. Yang aku tahu, aku akan selalu menulisnya,
meski kadang diselingi dengan rasa bosan, jengah dan ingin marah, namun tetap
tak melunturkan semangatku untuk menuliskannya.
Dan
akhirnya kuucapkan,
Selamat
malam dan selamat tidur buat dia yang selalu ku tulis J