Jangan menyesali cinta yang datang menyapa hatimu
Meski kamu tak bisa memiliki objek cintanya
Satu hal yang perlu kamu syukuri
Bersyukurlah atas kebahagiaan yang kamu rasakan ketika rasa itu datang
Meski hanya sesaat

Kamis, 01 November 2012

Ikhlas :D


Sebelumnya, mau mengucapkan “HAPPY NOVEMBER!!!”
Ciyeee udah November aja ciyeee... Ciyee yang udah mau akhir tahun masih nge-jomblo aja, ciyeee.... *uhuk

Kebangun tengah malem dengan niatan mau Online di paket Midnight emang kedengerannya menyedihkan banget ya? Cuma mau masuk ke dunia maya aja pake nunggu paket unlimited termurah dulu yang datengnya Cuma pas tengah malem. Mau online sama siapa? Gaje, kan? Akhirnya Cuma nge-tweet gak jelas, lagi.
“@yurizkisusilo: Ikhlas menerima semua keputusan-Nya”
“@yurizkisusilo: Ikhlas gak dapet respon yang diinginkan”
“@yurizkisusilo: Kuncinya tuh emang satu............. ‘Ikhlas!’”
Kenapa nge-tweetnya tentang ikhlas terus ya? Oke, saya jelasin.
Ikhlas a.k.a rela. Allah tuh oke banget, loh, keren. Dia menyuruh kepada hamba-Nya untuk ikhlas dalam melakukan/menerima sesuatu. Dia tahu manusia itu sering lebay dalam menanggapi hal-hal yang bersifat duniawi. Makanya, banyak manusia yang stress karena keberatan pikiran atau nggak bisa menerima kenyataan yang berbeda dgn keinginannya. Makanya, Allah menyuruh ikhlas, agar manusia rela atas segala keputusan Allah. Kalo kita udah merelakan semua perkara kita akan seperti apa, maka apalagi yang kita pikirkan? Plong pasti, kan? Kita relakan semuanya pada Allah emang satu-satunya cara ter-AMPUH.
Tapi, nggak jarang ya kita ngerasain susah banget buat ikhlas? Terutama meng-ikhlas-kan sesuatu yang kita cintai. *ehm, oke. Yang kita cintai itu sifatnya universal, loh. Kita amat mencintai sesuatu dan berharap banget bisa milikin itu. Tapi, ternyata keputusan Allah -yang tanpa kita sadari merupakan jalan terbaik- sebaliknya, alias tidak mengijinkan kita untuk memiliki itu, apa yang terjadi? Sedih -oke boleh deh- galau,stress mungkin, bahkan sampe ada yang bisa gila. Itu semua karena apa? Karena kita terlalu berlebihan dan sombong gak mau merelakan apa yang kita inginkan pada Pencipatnya. Kita sebagai manusia terlalu egois dan sok bisa berdiri sendiri. tapi, giliran kayak gitu, siapa lagi yang bisa membantu kita? Cuma Dia satu-satunya. Allah SWT. Allah ‘Azza Wajalla.
Ikhlas itu indah banget. Manfaatnya banyak dan berguna banget. bersihin jiwa dan pikiran kita, buat hidup lebih enjoy.
Hmm, dan sms saya nggak dibales-pun, saya mencoba untuk ikhlas se-ikhlas-ikhlas-nya. Nyesek emang. Tapi ya giamana? Semua yang ada di dunia kan kepunyaan-Nya. Gak etis banget kalo saya numpang di dunia justru malah sombong. Ikhlas, dong –semoga-.

Selamat bulan November, ya. Yang pasti, setiap bulan itu sama baiknya. Tinggal bagaimana kita mengubah tingkah laku kita menjadi lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya dan kita akan merasakan balasan akan kebaikan yang udah kita lakuin. Kebaikan apa yg sudah saya lakukan di jam-jam awal November ini? Nggak tahu, deh. Mungkin share di blog termasuk kebaikan gak ya? Haha.
Love

Rabu, 31 Oktober 2012

Selamat Malam


Semua masih abu-abu. Samar. Kalaupun ku paksakan, antara warna putih yang ku analogikan sebagai ‘iya’ dan hitam sebagai ‘tidak’, tentu menurutku warna hitam masih mendominasi, meski ada secercah harapan bahwa warna putih masih terlihat. Jadi, lebih baik ku katakan jika semuanya masih abu-abu. Samar dan belum bisa ditebak arahnya.
Ya Allah, Segala Puji bagi-Mu Tuhan Yang Maha Esa dan Agung, juga Maha Segala-galanya. Pertama, terima kasih. Terima kasih telah memberikan semuanya. Semua yang tercurah dari hati ini bersama keindahan-Mu. Kedua, ketiga dan seterusya akan mengalir dalam doa-doaku.

Aku sudah merasakannya sejak tiga hari yang lalu. Tapi, sepertinya tidak mungkin. Aku masih sangat belum yakin dan belum berani menyimpulkannya. Rasa takut itu muncul kembali. Berkelebat bersama rasa-rasa lain antara senang juga ragu.
Aku sudah mempersiapkan diri untuk diam dan memantapkan diri untuk mengenyahkan semuanya. Membuang semua yang selama ini mengakar dalam hati. Namun, semakin aku meyakinkan diri, aku merasa semakin lemah. Keyakinanku untuk merubah arah perahu layar yang selama dua tahun ini ku biarkan berlayar ke arahnya, kalah hanya karena lagi-lagi nama itu kembali terngiang. Memekik dalam telingaku. Menyuruh otakku untuk menulisnya kembali dalam media apapun, baik secara langsung maupun dengan penyamaran menggunakan kode.
Mataku terasa panas saat aku mendengarnya bicara begitu. Bicara mengomentari sikap ‘setengah perjalananku’ untuk merubah arah layar. Meski aku tampak tak peduli, namun entah, mataku terasa panas dan memaksa untuk mengeluarkan sebulir, dua bulir. Tidak. Aku harus tetap mantap memegang kemudi ini dan melanjutkan ‘setengah perjalanan’ku tadi.
Berada dalam jarak yang tak begitu jauh justru membuatku semakin sulit melawan arah angin yang kembali memaksaku untuk berlayar ke arahnya. Baik, baik. Aku menyerah. Aku memang belum bisa melakukannya. Jujur, hatiku pun masih condong kesana.
Aku merasa ada yang berbeda. Aku merasa ia mulai ‘terbuka’. Ah, atau hanya perasaanku saja? Aku  masih belum berani menyimpulkannya. Takut, aku akan menelan pil pahit lagi.
Setiap kata-katanya, baik verbal maupun tidak, ku simpan rapi dalam sebuah bungkusan kecil yang kuletakkan di suatu tempat bernama hati. Itu semua pertanda, bahwa aku masih menyimpan sesuatu yang sulit sekali ku ucapkan padanya. Namun, biarlah waktu-Mu yang akan melakukan sebagaimana mestinya.
Aku tidak tahu ia akan membacanya atau tidak. Aku pun tidak tahu ia akan mengerti semua yang tertulis atau tidak. Yang aku tahu, aku akan selalu menulisnya, meski kadang diselingi dengan rasa bosan, jengah dan ingin marah, namun tetap tak melunturkan semangatku untuk menuliskannya.
Dan akhirnya kuucapkan,
Selamat malam dan selamat tidur buat dia yang selalu ku tulis J

Minggu, 28 Oktober 2012

AMATIR

Aku bukanlah seorang penyair
Bukan pula seorang yang puitis
Aku hanya seorang Amatir yang senang mengungkapkan apa yang aku rasa lewat segelintir kata-kata

Aku bukan seorang yang aktif
Bukan pula seorang yang pintar berbicara dihadapan orang
Aku hanya seorang Introvert yang hanya senang berbicara jujur dengan orang yang benar-benar tahu akanku

Aku bukanlah seorang pekerja keras
Bukan pula seorang yang selalu beruntung
Aku hanya seorang yang naif, selalu dan selalu mengharapkan sesuatu yang bersifat ilusi yang aku sendiri pun tahu jika hal itu tak akan pernah berubah menjadi nyata

Apa menurut orang lain aku begitu menyedihkan?
Apa menurut orang lain aku begitu berlebihan?
Aku hanya ingin diam dan menerbangkan angan serta pikiranku ke alam lain
Alam dimana yang pasti aku mendapatkan apa yang aku inginkan sejak dua tahun terakhir
Alam ilusi

Biarlah aku menutup kedua mataku sejenak
Masuk ke alam ilusi dan bertemu dengannya disana
Menyatukan semuanya
Hingga aku benar-benar sadar, bahwa kegilaanku haruslah lekas usai...

cerita dulu

Masuk ke dimensi lain. Melihat masa lalu. Masa lalu dan masa lalu lagi. Hingga masa lalu dimana aku baru direncanakan.
Mereka tampak bahagia. Sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara. Merajut tali cinta yang akhirnya menghasilkan aku. Aku hadir dengan kepolosan dan ketidaktahuan tentang dunia luar dan masalah-masalah yang menghadangnya. Lima tahun aku menghurup udara dunia dengan keceriaan khas anak-anak. Tertawa, berlari dibawah guyuran hujan deras, menyusuri kali yang mengayunkan sebatang gedebong pisang hasil memandikan orang mati. Tertawa dan tertawa. Lepas. Tanpa beban. Hingga akhirnya aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tak menangis seperti orang gila. Aku dan dia terpaksa terpisah. Ia terpaksa meninggalkanku demi kebahagiaanku. Aku terpisah olehnya. Seseorang yang selalu menyuapiku saat ku ingin makan. Seseorang yang selalu memandikanku saat ku belum bisa mandi sendiri. Seseorang yang, aku sayang.
Terdamparlah aku disini. Bersama seorang tua yang berusaha menenangkan kondisiku yang masih liar baginya. Tangis dan air mata tak henti-hentinya berhenti keluar dari mataku. Aku masih merindukan sosok wanita itu. Dimana dia? Mengapa ia tak ikut denganku?
Proses penjinakkan atas diriku berjalan lancar. Seiring berjalannya waktu, aku tidak lagi menangis mengingat sosok wanita itu seperti dulu. Aku sudah menginjak usia sekolah. Bermain seperti biasa dengan kawan-kawan baru disini. Kembali tertawa, meski tak dapat kembali berlari dibawah derasnya hujan yang menyiram bumi. Tak dapat lagi berlari dibawah hujan sambil menyusuri panjangnya kali. Aku sedikit merasa terkekang. Tak boleh pergi jauh-jauh. Tak boleh melakukan ini-itu yang dapat membahayakan diriku.
Lama aku tak mendengar kabar wanita yang dulu rajin menyuapiku. Aku kini dekat dengan sosok wanita tua yang melahirkan sosok pria yang tengah merantau di kota. Pria itu pulang jika ada event-event tertentu. Seperti acara keluarga, atau bahkan setahun sekali saat idul fitri menjelang. Aku jarang menjalin kontak dengannya. Hanya yang aku tahu, aku menghubunginya jika aku menginginkan sesuatu.
Kini aku tlah tumbuh dewasa. Pikiranku pun sudah jauh memikirkan nasibku sendiri kedepannya. Meski aku seorang perempuan, tidak mungkin aku terus menggantungkan hidup pada mereka –wanita tua dan pria itu-. Ditambah lagi, kini ada orang lain yang mendampingi pria itu. Orang lain yang sejak dulu ku sadar, bahwa cepat atau lambat ia pasti hadir. Mengisi kekosongan hidup pria itu selama bertahun-tahun.
Pikiranku melayang ke kampung dimana aku dulu berlari dibawah hujan deras. Ke kampung dimana sesosok wanita paruh baya tengah menyiapkan masakkan untukku. Ke kampung dimana aku merasa sangat canggung saat aku kembali kesana sepuluh tahun setelah aku pergi dan terdampar disini. Ke kampung dimana seingatku suasananya tidak banyak berubah. Orang-orangnya yang ramah, dialeg mereka yang kental akan bahasa Betawinya, hingga gundukkan-gundukkan tanah berisi jasad masusia yang masih terhampar di sekitar rumah-rumah penduduk. Masih belum banyak yang berubah. Namun, aku, malah merasa canggung untuk menghadapi mereka kembali setelah sepuluh tahun sebelumnya, bahkan kepada wanita paruh baya itu sekalipun.
Pikiranku kembali kesini. Ke tempat ini. Ke kamar ini. Ke tanggal, bulan dan tahun ini.
Terdengar suara tangis balita yang tak bisa jauh dari ibunya. Terdengar suara ayahnya yang sedang bermain dengannya. Terdengar suara neneknya yang juga sedang bermain dengannya. Tawa mereka adalah hidupku. Tawa ayah dan nenekku. Sedang balita itu dan ibunya? Entah. Sampai saat ini, aku masih belum dapat menerima semuanya. Meski dihadapannya aku terbuka, namun masih ada yang mengganjal dalam hati ini. Mengapa bukan wanita yang benar-benar ibuku yang menempati posisinya mendampingi ayahku? Mengapa harus orang lain yang bertransformasikan statusnya menjadi istri ayahku sekaligus sebagai ibuku? Aku masih belum bisa terima. Jika saja ini bukan karena ayahku, tentu aku tidak akan mau.
Yang aku tahu dan yang selalu terpatri dihatiku, ibuku memang ada 2, yaitu Suniah dan Salimah. Ibu kandungku dan nenekku yang selama ini membesarkanku disini. Tiada lain tiada bukan. Tiada tambahan. Dan dia, tetap menjadi orang lain yang berubah status menjadi istri ayahku tanpa bisa menggantikan posisi ibu-ku.
Ya Allah... aku berharap, kisah cinta ayah dan ibuku, kelak tidak akan terulang kembali padaku. Aku ingin kisah cinta yang sempurna tanpa ada perpisahan keculai karena ajal.