Jangan menyesali cinta yang datang menyapa hatimu
Meski kamu tak bisa memiliki objek cintanya
Satu hal yang perlu kamu syukuri
Bersyukurlah atas kebahagiaan yang kamu rasakan ketika rasa itu datang
Meski hanya sesaat

Sabtu, 30 November 2013

Sepenggal Pertama Sabrina



Hidup itu nggak selamanya mulus Sabrina tahu. Orang pun tidak mungkin selamanya tertawa karena bahagia. Sabrina pernah membaca status dari seorang teman bahwa intinya ia selama ini ceria di depan teman-temannya karena ingin menutupi kesedihannya dari mereka. Sungguh, rasanya pasti menyesakkan hati sekali. Saat kita seharusnya menumpahkan kesedihan dengan teman agar kesedihan itu berkurang, yang ada justru kita harus menahan sesak untuk menutupi semua itu. Tapi, nggak nyesek juga, sih. Karena dengan begitu malah justru kita terbawa suasana ceria juga pada saat berkumpul dengan mereka, walau sebentar. Sampai di rumah? Galau lagi, itu pasti.

Ah, sudahlah. Mood Sabrina juga sedang tidak baik hari ini. Entah. Hari ini ia sensitif sekali. Dari semalam sebenarnya suasana hati sudah tak enak. Sekitar dini hari wanita itu terbangun dari tidur dan serta merta mengecek ponselnya. Mengecek apa? Kosong. Dan dini hari itu sudah tentu lewat dari kurungan waktu 24 jam yang spesial baginya. Harapannya yang tinggi untuk dapat menerima pesan Selamat Ulang Tahun dari seseorang yang sudah lama diimpikan oleh Sabrina di tahun ini pupus sudah. Zonk!

Kecewa itu pasti. Kecewa sekali. Tapi, ia mencoba kembali menata pikirannya yang kacau ‘hanya gara-gara itu’ dan berpikir “Memang aku ini siapa?”. Hahaha. Iya juga. Memang ia siapa? Sabrina, nama wanita itu, hanya seorang tak penting yang berusaha penting bagi orang lain yang menurutnya penting namun akhirnya dimata sosok yang diimpikannya itu ia mungkin menjadi orang yang sangat tidak penting. Ah, sudahlah. Yang pasti suasana hatinya sedang buruk hari ini. Mata sudah bengap seperti orang baru ditonjok. Argh!!! Rasanya ingin sekali Sabrina mengenyahkan semuanya!!! Tidur.

Tingkat Akhir



Kini aku sudah menyandang gelar ‘Mahasiswa Tingkat Akhir’. Gelar yang terkesan masa aktifnya di kampus sudah tinggal hitungan bulan lagi. Hitungan bulan? Ah, semoga saja. Targetku untuk dapat graduate adalah Juni 2014. Itu, sih kalau apa yang aku rencanakan berjalan mulus.
Dalam menyandang gelar itu juga, aku mulai memikirkan ‘secara benar’ masa depanku. Kalau dulu saat pertama kali masuk kuliah di kampus dan jurusan ini, aku hanya berpikir, ‘ah, yang penting masuk dulu. Masalah besok mau jadi apa, biarlah nanti-nanti saja ku pikirkan’. Tapi, aku sadar jika pikiran itu salah. Apalagi, jika pikiran itu masih memenuhi otakku sampai sekarang.
Pertama kali berkecimpung di jurusan ini, aku memang ‘setengah hati’ dalam melakukannya. Jujur saja, aku ingin dapat bekerja seperti ayahku. Bekerja di kantor, mengenakan busana kantor yang ‘eye-catchy’, merasakan rasanya melembur di kantor dan berbagai kegiatan kantor yang sering ayahku lakukan dan ceritakan padaku yang membuatku tertarik. Tapi, aku pikir-pikir lagi, apa aku mampu menjalanjakannya? Karena tentu saja, pekerjaannya tidak mudah.
Sekarang inilah jalanku, ku rasa. Aku sudah berkecimpung di dunia kampus dengan jurusan ini kurang lebih 3 tahun dan sebentar lagi akan menyandang gelar S.Pd. Jadi aku harus fokus terhadap ini semua. SEMANGAT TINGKAT AKHIR!

Selasa, 22 Oktober 2013

Bayangan


Saat ku mulai membuka mata, bayangmu tampak kabur di mataku. Tapi, aku bisa melihat jika itu kau. Meski hanya sekelabat bayanganmu.
Saat ku datang ke suatu tempat, bayangmu masih tampak kabur di mataku. Tapi, aku bisa melihat jika itu kau. Meski hanya sekelebat bayanganmu.

Aku mencari. Mencari tempat dan saat yang tepat saat aku dapat melihatmu secara nyata dan jelas.
Tanpa blur. 
Tanpa bayang.
Tapi dimana?
Tidak ada. 

Aku terus dan terus hanya melihatmu sebagai ilusiku. Nampak tapi tak nyata.
Aku berlari. Berlari melawan tiupan angin yang berusaha mengenyahkanku dari arah tempatku menuju. Ada apa? 

Mengapa angin menolakku untuk datang ke tempat itu? Mengapa aku tidak pernah melihat kau dengan jelas dan nyata sebagai dirimu sendiri? Mengapa....
Namun, kini kau terlihat jelas. Matamu, hidungmu, bibir dan wajahmu, kini semua bukan ilusi.

Ya, aku melihatmu nyata di waktu dan tempat yang mungkin aku tak seharusnya pernah tahu. Waktu saat kau menemukan potongan jiwamu di tempat yang sering kau kunjungi.
Angin kembali datang menyapu kulitku bagai debu.
Aku luruh.

Kini berganti, aku yang tampak tak nyata bagimu.

Absurd


Mungkin selama ini memang aku selalu salah bersikap
Selalu salah menafsir
Selalu salah menerapkan
Selalu dan selalu salah dalam segala hal

Selama ini dibutakan oleh sesuatu yang absurd
Yang aku pun tidak tahu manfaat apa yang aku dapat
Selain selalu dan selalu hidup dalam kegamangan

Ku pertahankan sikap naif itu hingga akhirnya aku tersadar
Tersadar bahwa apa yang aku sikapi selama ini
Adalah sesuatu yang sangat samar, abu-abu
Tiada mutlak, selain hanya mutlak tidak akan aku dapatkan

Aku terlalu naif tidak mau melihat arah melencongnya angan ini
Atau barangkali sikap optimis ini terlalu berlebihan?

Aku benci
Aku jengah
Aku bosan

Bukan. Bukan dengan sesuatu yang absurd itu
Namun dengan dorongan
Dorongan dari dalam diriku untuk selalu optimis
Hingga akhirnya aku menjadi manusia yang naif dan munafik
Bagi diriku sendiri selama menghirup udara dunia

Selasa, 09 Juli 2013



Jika memang dengan begini aku dapat menjadi lebih tegar, aku terima. Aku memang terlalu cengeng dan kekanakkan untuk merasakan perasaan sesakit ini. Mengapa aku? Mengapa aku? Mengapa aku?

Aku yakin, akhir cerita yang manis telah Engkau siapkan untukku. Beri aku petunjuk untuk dapat menjalani kehidupan sesuai dengan alur takdir-Mu.
Hilangkan semua rasa ini tanpa bekas. Karena ku lelah. Aku lelah tiap kali rasa ini hilang, namun tiba-tiba hadir kembali menyusup memberikan segores luka. Hingga kemudian luka-luka itu telah melebar, menyebar ke seluruh ulu hati. Hingga aku tak bisa lagi menutup luka itu dengan baik.

Semua ini. Folder ini. Ku tuliskan semua tentang dia. Apa aku bodoh? Apa aku terlalu naif untuk tak mau melihat kenyataan yang sebenarnya sudah sangat terbentang luas dihadapanku sendiri sejak dulu? Aku terlalu bodoh untuk dapat menyadari semua itu.
Aku hanya wanita yang lemah. Yang mudah menitikkan air mata dikala ku terhempas ke lembah kegalauan. Aku tak kuat. Aku tidak bisa lebih kuat lagi. Tapi, saat ini benar-benar hanya kekuatan untuk melupakan dan menghadapi semuanyalah yang ku butuhkan.